Senja itu, aku tak tahu kekuatan apa yang membawaku pergi menemuimu. Dan sekarang aku di sini, di tempat yang pernah menjadi tempat favoritku di kota ini. Menurutku pribadi perpisahan bukanlah sesuatu yang menyebalkan, yang menyebalkan adalah ketika potongan-potongan itu datang seperti maling yang tak pernah diundang. Atau ketika kesendirian itu datang dan betapa khusyuknya upaya melupakan. Di sinilah aku sekarang duduk di sofa favoritku di rumah ini, melakukan rutinitas yang sama, menunggumu.
“Hai, udah lama nunggu ya, tumben sore-sore.” Katamu seraya mengeringkan rambut. Hanya sambil mengenakan handuk dengan rambut hitam panjangmu kamu biarkan terurai.
“Setidaknya pakai dulu bajumu.” Kataku
“Iya tapi bentar lagi, masih ngeringin rambut dulu.” Balasmu
Aku tahu, berdebat denganmu adalah suatu tindakan yang bodoh dan aku sekarang tidak ingin melanjutkan kebodohan-kebodohan kita. Aku tak tahu sekarang aku harus memulai pembicaraan apa. Kupikir ada hal yang lebih penting daripada membicarakan soal perasaan, mungkin berbicara tentang kebutuhan energi atau bagaimana cara paling efisien untuk membedah jantung yang bisa membuatmu memenangkan nobel, keinginanmu dulu. Bukan membicarakan hal-hal melankolis dan sentimentil seperti rintik hujan, gerimis, debu terbang, bau angin, atau pengaruh warna cover untuk tugas-tugas kelompok kita. Hal-hal bodoh yang akan kita perdebatkan sampai saling marah, saling diam, lalu saling menyendiri. Hingga kita sadar akan kebodohan kita dan tertawa setelahnya.
“Aku mau pakai baju dulu deh, kamu mau dibuatin teh atau kopi?”
“Kenapa kita tidak minum itu ketika malam dan dingin sudah datang, dan kehangatan teko yang biasa kamu gunakan membuat kita nyaman?” Kataku tanpa menatap ke matanya, hanya sekadar menahannya sebentar.
“Kamu pragmatis banget, Kamu gak akan bisa menikmati pahit dan getirnya kalau kamu Cuma mencari panasnya, sesekali perlu lah jadi melankolis.” Katamu panjang sambil berjalan ke kamarmu dan merapikan rambutmu, rambut hitam, tidak terlalu panjang namun bagiku deskripsi sempurna dari kata indah, meskipun kamu terkadang mengutuknya karena menurutmu sering mengacaukan segalanya.
“Jangan terlalu manis, pake gula saja.” Kataku sebelum kamu berjalan terlalu jauh. Aku tak tahu mengapa aku berkata seperti itu, kamu tentu sudah tahu apa yang menjadi keinginanku, mungkin aku hanya ingin menahanmu atau lebih ekstrem lagi takut kehilanganmu lagi. Dan kau hanya berbalik dan menyunggingkan sebuah senyum.
Kau pun kembali, agak lama, lebih lama dari biasanya. Kau membawa dua cangkir yang aku pun tahu isinya, kopi susu untukku dan teh tawar hangat untukmu. Aku tak pernah bisa memahami orang yang minum teh hangat tanpa rasa.
“Maaf ya.” Katamu memecah keheningan
“Untuk apa?” kataku, berpura-pura tidak tahu meskipun aku memang tidak terlalu yakin apa yang akan keluar dari mulutmu. “Pinjam iPodmu dong, rumah sebesar ini terlalu sepi untuk hanya diisi pembicaraan kita.” Kataku, berusaha mengalihkan topik. Akupun mengambil iPodmu sambil menekan tombol play dan membiarkan produk keluaran Apple itu menshuffle sesuka hatinya.
“Maaf ya, untuk semuanya, untuk kamu yang selalu menunggu dan memaafkan.” Katamu.
Suara khas Michael Buble keluar dari alat kecilmu itu, “I’ve been keeping all the letters, that I wrote to you.”Home, sebuah lagu yang menggambarkan kerinduan dan sebuah kata bernama pulang. “Kenapa lagu itu? Aku bisa menjadi sentimentil seketika jika mendengar lagu itu, kamu tahu berapa lama aku tidak bisa kembali ke sini.” Tanyamu. Iya aku tahu, aku rasa aku lebih tahu dari kamu perkara ini. Tentang bagaimana kita dilahap perlahan oleh sesuatu bernama waktu dan jarak, ketika aku belajar banyak arti dari kata bersamak, dan waktu yang melambat dengan segala ketergesaannya.
“Tak tahu, jangan salahkan aku, tanya sendiri tuh sama alatmu. Oh iya, kamu tadi tanya apa?” tanyaku, meskipun aku mendengar dengan sangat jelas pertanyaanmu. Aku hanya ingin melihat kamu cemberut, aku tahu apa yang tidak kamu suka lebih dari dirimu sendiri, dan entah kenapa aku selalu suka wajah manyunnya.
“Kamu, tentang itu..” Aku memotong ucapannya sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, “Oh, Tak apam mungkin memang kita harus menyerah pada jarak, waktu, dan perpisahan.” Kataku mencoba menjawab pertanyaannya, meskipun aku mencoba untuk tidak menjadi sentimentil, aku sedang tidak ingin menjadi sentimentil senja itu.
“Gak berubah, masih sok mencoba jadi puitis.” Balasmu, yang membuatku terdiam seraya menikmati petikan gitar dan suara Adhitya Sofyan, layaknya vokalis band shoegaze yang mumpuni dia berbicara tentang ruang kosong serta harapan, “I’m waiting for thing to unfreeze, till you release me from the ice block. Still everyday I think about you, I know for a fact it’s not your problem.” Potongan kata puitis dan liris yang terus menghunjam di tengah kesunyian kita.
“Ya mau gimana, kita tidak bisa memilih kepada siapa kita jatuh cinta.”
“Ah, kopi buatanmu sekarang jauh lebih enak dari yang dulu.” Kataku mencoba mengalihkan pembicaraan, entah mengapa aku tidak mau menjadi sentimentil sore ini. Dan entah kenapa sore ini menjadi sangat lama, seharusnya sudah maghrib saat ini.
“Malam jadi saksinya, kita berdua di antara kita. Yang tak terucap, berharap waktu membawa keberanian, untuk datang membawa jawaban.” Suara dari Is dan Payung Teduh seakan terus menghujam lubang yang telah dibuat Adhitya Sofyan. “Selera musikmu masih tetap sama, bagus.” Kataku, kalau aku disuruh mencari alasan yang paling dasar mengapa aku bisa tertarik padamu adalah selera musikmu, dan saat konser bagaimana kita menghabiskan waktu.
“Seperti dulu, tak banyak yang berubah. Kenapa kamu tidak duduk di sebelahku, seperti dulu?”
“Tidak mau, Di sini saja, aku takut kalau terlalu dekat aku malah jatuh cinta.” Balasku
“Gombal, seperti biasanya.”
“Lah, apa kamu mau Always be My Baby nya David Cook atau Free Fall nya John Mayer, gombal yang sempurna itu.”
"I wanna glide down over mulholland, I wanna write her name in the sky, Gonna free fall out into nothin', Gonna leave this world for a while," Aku beranjak dari kursiku dan membisikkan kata itu di telingamu, seraya memelukmu. Dan kau hanya diam, mungkin kau hanya ingin merasakan kehangatan, tapi kau sadar tidak ada yang abadi, tidak juga sebuah kehangatan.
“Tolong jangan dilepas, aku ingin dipeluk sebentar saja.” Ucapmu dengan nada yang bergetar, aku tahu sebentar lagi kamu akan menangis. Tanganmu menggenggam erat tanganku. Aku tahu, aku tahu itu lebih dari dirimu. Kamu mudah menyerah pada rintik hujan, embun, debu, deru kendaraan, subuh, kabut, atau pun senja. Kamu bisa menemukan sesuatu yang kudus dari matamu yang bisa membuat yang biasa menjadi tidak biasa. Kamu mudah jatuh cinta semudah kamu terluka.
Aku akhiri pelukan itu, aku sadar itu tidak sehat. Lalu aku mematikan pemutar musik bikinan Steve Jobs itu. “Karena aku tidak bisa menyanyi mungkin Hati-hati dengan kesehatan telingamu” Kamu hanya diam tersenyum, rambut yang masih basah, lesung pipit dan senyum simpul, serta semua lekuk tubuhmu.
“Sweet disposition, never too soon” lagu dari Temper Trap yang aku nyanyikan dengan suara seadanya dan kamu hanya bisa tertawa “Oh reckless abandon, like no one watching you.” Kamu ikut bernyanyi.
“a moment a love, a dream a laugh. A kiss a cry, our rights, our wrongs.”
Iya, terima kasih untuk semua momen, semua pelukan, dan semua sunyi yang menyenangkan. Dan ketika kita tersadar malam sudah datang.