Monday, March 24, 2014

Kepadamu, Hari Ini



Selasa, 25 Maret 2014

Kepadamu,

Sedikit cahaya yang dapat masuk ke kamarku hari ini. Seperti biasa, awan masih bersepakat mewarnai kota ini dengan warna abu-abu, yang siap menurunkan hujan kapanpun dia mau. Aku bangun tidak sepagi biasanya, bisa dibilang terlambat untuk kuliah pagi hari ini. Sejujurnya mungkin aku merasa sedikit kelelahan, dengan segala kesibukan dan waktu yang sedikit untuk sekadar berdamai dengan diri sendiri. Tapi kelelahan bukan alasan untuk tidak menunaikan kewajiban dan aku bukan orang yang biasa mencari pembenaran.

Aku percaya ada pengaruh yang diciptakan suasana terhadap perilaku seseorang. Cuaca seperti ini pasti akan membuat beberapa orang lebih malas dan terjebak dalam gravitasi yang ditawarkan bantal. Begitu juga dalam kehidupan perkuliahan, aku merasa mendapat pengaruh positif dari lingkunganku. Tak terkecuali di Cendekia Teknika, selalu ada energi positif yang dapat diraih dan kesalahan yang dapat dijadikan pelajaran di setiap waktunya.

Ah, ada satu kata yang aku harus tandai pada kalimat sebelum ini. Waktu. Karena kita semua terperangkap dalam dimensi waktu dan kebetulan juga terperangkap di dunia pada dimensi waktu yang hampir sama. Masa kuliah, masa gladi resik menghadapi kehidupan. Ibarat seorang anak kecil kita belajar untuk mulai dari telungkup, merangkak, berjalan, hingga bisa berlari dengan kakinya sendiri. Cendekia Teknika hadir di situ, untuk membantu diri sendiri dan orang lain meraih yang terbaik di masa ini. Kakak-kakak yang selalu ada untuk membimbing dan mengawasi serta adik-adik yang ada untuk saling mengingatkan.

Bagiku, ada satu frasa yang penting dalam proses menjadi seorang cendekia. Seperti pesan yang tersimpan dari lagu itu. Berjalan lebih jauh, kita adalah orang-orang yang memang ingin berjalan lebih jauh dan menyelam lebih dalam. Sedikit pesan terselip di situ juga sebab hidup teramat berharga untuk kita jalani dengan biasa-biasa saja. Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari, dan karena tak ada yang lebih monoton dari kepastian.

Akhir dari tulisan ini, aku hanya ingin sedikit mendoakan. Semoga Tuhan tetap menjaga hidupmu yang aku yakin bukan hanya untuk dirimu, tapi juga untuk orang tua, teman, bahkan daun yang tak kuasa memindahkan dirinya sendiri ke tempatnya.  Sebuah pekerjaan yang tentu adalah mulia dan sedikit banyak mengajari tentang keikhlasan. Tentang membenarkan sesuatu yang belum tentu adalah kesalahan kita, tentang membantu mereka yang terkadang tidak sadar bahwa mereka membutuhkannya. Tetap sehat, tetap semangat, dan satu yang paling penting, tetaplah tersenyum untuk dirimu dan orang-orang di sekitarmu.


Salam,


Andhika Yudha Prawira



*PS : Sesibuk apapun dirimu, jangan lupa tersenyum J

Tuesday, February 4, 2014

The Luckiest

Tulisan ini Terinspirasi oleh Lagu Ben Folds berjudul The Luckiest

bacalah tulisan ini jika dirinya sudah mulai bernyanyi



Kepalaku adalah sesuatu yang rumit, dan jarang yang mampu menerjemahkannya
Aku adalah orang yang tidak bisa memikirkan sesuatu denga n sederhana
Mungkin kenyataannya memeang seperti itu
Terkadang beberapa hal tidak sesederhana kelihatannya

Aku tidak tahu berapa tikungan yang aku ambil hingga aku berada di sini
Beberapa mungkin benar
Beberapa mungkin salah dan tidak sedikit berupa kebodohan
Tapi terkadang keduanya memang ada untuk dirayakan
Termasuk kamu.

Aku tak tahu di mana aku berada, ketika aku melihat cantiknya wajahmu untuk pertama kalinya,
Tidak sekalipun ada inginku, melihat wajahmu memenuhi setiap hariku
Lalu kemudian muncullah jika dan beberapa bagaimana

Bagaimana jika, aku terlahir sepuluh tahun lebih dulu
Dan tinggal di rumah tetap di depan rumahmu itu
Mungkin teras akan menjadi tempat favoritku
Untuk sekedar menyaksikan kamu melintas dengan sepeda kecilmu.

Bagaimana jika kamu mengenaliku sebagai kawan masa kecilmu
Jika aku adalah orang yang berada di sebelahmu setiap saat
Jika aku bisa menikmati senja denganmu setiap sore, setelah melintasi setengah kota
Dan Jika aku bisa mengungkapkan bagaimana aku bisa jatuh cinta padamu.

Aku tidak tahu, mungkin ini adalah cara yang aneh untuk memberitahumu
Jika kita memang ditakdirkan untuk bertemu
Dan mungkin ditakdirkan untuk bersama
Dan aku akan menjadi orang paling beruntung di dunia.

Biarkan kita berjalan bersama takdir,
Bersama waktu yang tidak mungkin mengkhianati untuk maju
Dan sekarang tinggal kita melaksanakan tugas saat ini
Tugasku untuk membuatmu bahagia, dan kamu untuk selalu bahagia
Karena aku orang paling beruntung di dunia.



P.S : Do You Believe in Destiny?



Saturday, January 18, 2014

Selamat Ulang Tahun

Kepada Q

Sore itu seperti biasanya aku menuju salah satu tempatku menikmati senja di fakultas ini. Aku selalu menyukai senja, meskipun dengan artian yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Dulu, aku menyukai senja seperti seorang anak sekolah menanti bel istirahat atau bel terakhir sebelum libur panjang tiba.

Sore itu, ada yang berbagi kebahagiaan. Tentang kedatangan dan kehilangan, tentang tahun yang terlewati dan angka baru usia yang akan dijalani. Aku belum terlalu mengenal sosokmu, namun mari kita sedikit berbicara tentang angin.

Angin, sesuatu yang tidak kasat mata namun dia ada. Dia bisa pergi ke mana saja sesukanya, tanpa ada yang mengikat, tanpa beban ataupun ketakutan. Dia yang selalu ada ketika daun membutuhkannya, dia mendengarkan ketika daun-daun itu membisikkan rahasia-rahasia mereka. Angin membantu daun-daun itu jatuh dengan nyaman ke tanah, ketika pohon tidak meminta mereka untuk tinggal, atau ketika ada hal-hal lain yang membuat mereka terjatuh. Tapi terkadang angin lupa, bahwa tidak semua daun terletak pada pohon yang sama, dan membuat daun tersebut terlepas dari tangkainya. Mungkin dia hanya berniat bermain, tapi terkadang ekspresi itu menjadi salah dan disalahartikan.

Ah, mengapa aku malah meracau soal angin. Seperti yang aku sampaikan pada paragraf sebelumnya, aku tidak terlalu mengenalmu, tidak pernah terlibat obrolan panjang, ataupun bertukar umpatan denganmu. Namun sejauh yang aku perhatikan, kamu adalah sebaik-baiknya kawan.  Seseorang yang mampu mendengar, mendengar, dan mendengar sembari sesekali mengeluarkan kata-kata yang menenangkan.  Seseorang yang meskipun jarang terdiam, namun diamnya menenangkan ketika sedang mendengarkan.

Ada sedikit pesan, seperti layaknya deskripsi tentang angin. Selalu dengarkan celotehan daun, ada lah selalu untuk mereka. Kita tak bisa hidup tanpa orang lain, hargai teman-teman yang ada untuk dirimu. Dan terkadang setiap orang itu berbeda, seperti angin yang melewati daun-daun pohon yang berbeda, setiap tindakan kecil memiliki arti, hati-hati dengan setiap tindakan karena terkadang itu menjadi bahan pikiran mereka, bahkan menyakiti hati mereka. Karena setiap orang berbeda-beda.

Selamat menempuh umur baru, selamat ulang tahun, dan selayaknya senja, hari ulang tahun adalah kehilangan yang terduga, namun kita tidak bisa berbuat apa-apa. Pertemuan dan perpisahan yang terjadi bersamaan, pertemuan dengan usia baru dan perpisahan dengan waktu-waktu sebelumnya. Menyenangkan mengingat hari ulang tahunmu juga merupakan hari pertemuan dan perpisahan dengan tahun, yang selalu dirayakan orang-orang, merayakan kehilangan. Senja bersahabat karib dengan kehilangan, tapi jadikan kehilangan menjadi pelajaran, karena kita tidak hidup pada satu momen, tapi jadilah lebih baik dan jadikan momen-momen selanjutnya lebih baik.

Bersama tulisan ini juga terkirim sepaket doa ke langit, mungkin jika aku mempunyai mesin waktu aku akan mengirimkannya tepat pada hari ulang tahunmu tapi apa daya aku tidak memiliki itu. Selamat ulang tahun ke 18, lewat 18 hari. 


*PS : postingnya telat sehari, dan seharusnya aku menganalogikan bukan dengan angin, namun cahaya, sesuai namamu 

Monday, December 9, 2013

Sebelum Hujan Datang dan Senja yang Menua

Kita sama-sama menunggu, mungkin kita sama-sama tahu tapi menunggu, atau apapun istilahnya. Terkadang aku juga tak tahu bagaimana aku bisa mendeskripsikan kita. Memang hidup tidak akan pernah sebrengsek ini jika semua keinginan kita tercapai, tapi aku mungkin juga tidak meinginkan itu.

Sore itu, kita sedang berencana, ah mungkin bukan kita, tapi aku. Seperti katamu, aku adalah seorang perencana, the man with the plan.  Meskipun kamu selalu memperingatkanku kalau semuanya lebih indah mengalir, ya mungkin inilah aku. Sejujurnya aku juga tak tahu kita akan ke mana sore itu, kita sedang berada pada dimensi waktu, ketika matahari lebih senang bersembunyi dan bulir-bulir bisa turun kapan saja ke muka bumi. Kamu bilang kamu ingin pergi ke tempat yang sepi, tapi indah, aku tak tahu di mana aku bisa menemukannya, karena pada dirimu aku bisa menemukan semuanya.

"Bagaimana jika hujan menghalangi datangmu?" katamu bertanya.

"Aku tak tahu, terkadang aku suka hujan tapi aku tidak mungkin membiarkan hujan menyakitimu, membuatmu kedinginan dan basah kuyup." kataku.

Ketika hujan datang lebih cepat daripada aku, ah hal ini menyebalkan. Menunggu hujan reda selalu membuatku menjadi sentimentil, tentang bulir-bulir air di jendela atau bau tanah yang hadir dengan kenangan bersamanya. dan yang menjadi lebih menyebalkan adalah ketika aku harus menunggu hujan reda tanpamu dan ketika kehadiranmu bersama hujan tentu akan membuat segalanya menjadi lebih mudah.

Di saat seperti ini, aku selalu bermain dengan prasangka, ketika aku membayangkan apa yang nanti kita bicarakan. Aku membayangkan diriku sedang berada pada sebuah ruang tunggu dan menyaksikan orang-orang berjalan ke luar, mereka tidak meraih apa yang mereka tunggu, mereka menyerah. Mungkin mereka menyerah ketika kamu mengucapkan kata maaf, ah maaf memang terkadang meyimpan maknanya yang tidak bisa diiyakan maupun ditidakkan. Aku sadar, aku juga hampir termakan bujuk rayu mereka, untuk meninggalkan apa yang aku tunggu tapi aku menyadari kalau apa yang aku tunggu lebih membuatku tidak betah jika aku tinggalkan.

Ah seperti katamu, mungkin terkadang aku harus mengalir mengikuti kemauan semesta. Terlambat, hujan datang dan menghanyutkan rencana entah ke mana. Kadang aku berharap aku bisa lebih cepat dari hujan, agar sore itu kita bisa mengungkapkan segalanya yang belum terungkapkan. Semesta memang selalu punya caranya sendiri, mungkin agar kita lebih menghargai waktu-waktu bersama, waktu yang paling berharga adalah masa kini, kamu juga paling berharga karena masih bersamaku hingga kini. Dan masa depan itu tidak pasti, tapi aku ingin memastikan kamu sebagai masa depanku, hanya itu.

Terkadang, aku hanya berharap aku datang sebelum hujan datang. Terlambat, aku hanya bertemu senja yang menua. Tak apa, karena aku tak akan pernah lelah mengucapkan tiga kata itu, dan tak henti mendoakanmu berharap kamu memang masa depanku.


*terinspirasi oleh foto M. Hibatur R, mungkin kita harus sering membuat karya bersama.

Tuesday, November 5, 2013

Untitled

Senja itu, aku tak tahu kekuatan apa yang membawaku pergi menemuimu. Dan sekarang aku di sini, di tempat yang pernah menjadi tempat favoritku di kota ini. Menurutku pribadi perpisahan bukanlah sesuatu yang menyebalkan, yang menyebalkan adalah ketika potongan-potongan itu datang seperti maling yang tak pernah diundang. Atau ketika kesendirian itu datang dan betapa khusyuknya upaya melupakan. Di sinilah aku sekarang duduk di sofa favoritku di rumah ini, melakukan rutinitas yang sama, menunggumu.

“Hai, udah lama nunggu ya, tumben sore-sore.” Katamu seraya mengeringkan rambut. Hanya sambil mengenakan handuk dengan rambut hitam panjangmu kamu biarkan terurai.

“Setidaknya pakai dulu bajumu.” Kataku

“Iya tapi bentar lagi, masih ngeringin rambut dulu.” Balasmu

Aku tahu, berdebat denganmu adalah suatu tindakan yang bodoh dan aku sekarang tidak ingin melanjutkan kebodohan-kebodohan kita. Aku tak tahu sekarang aku harus memulai pembicaraan apa. Kupikir ada hal yang lebih penting daripada membicarakan soal perasaan, mungkin berbicara tentang kebutuhan energi atau bagaimana cara paling efisien untuk membedah jantung yang bisa membuatmu memenangkan nobel, keinginanmu dulu. Bukan membicarakan hal-hal melankolis dan sentimentil seperti rintik hujan, gerimis, debu terbang, bau angin, atau pengaruh warna cover untuk tugas-tugas kelompok kita. Hal-hal bodoh yang akan kita perdebatkan sampai saling marah, saling diam, lalu saling menyendiri. Hingga kita sadar akan kebodohan kita dan tertawa setelahnya.

“Aku mau pakai baju dulu deh, kamu mau dibuatin teh atau kopi?”

“Kenapa kita tidak minum itu ketika malam dan dingin sudah datang, dan kehangatan teko yang biasa kamu gunakan membuat kita nyaman?” Kataku tanpa menatap ke matanya, hanya sekadar menahannya sebentar.

“Kamu pragmatis banget,  Kamu gak akan bisa menikmati pahit dan getirnya kalau kamu Cuma mencari panasnya, sesekali perlu lah jadi melankolis.” Katamu panjang sambil berjalan ke kamarmu dan merapikan rambutmu, rambut hitam, tidak terlalu panjang namun bagiku deskripsi sempurna dari kata indah, meskipun kamu terkadang mengutuknya karena menurutmu sering mengacaukan segalanya.

“Jangan terlalu manis, pake gula saja.” Kataku sebelum kamu berjalan terlalu jauh. Aku tak tahu mengapa aku berkata seperti itu, kamu tentu sudah tahu apa yang menjadi keinginanku, mungkin aku hanya ingin menahanmu atau lebih ekstrem lagi takut kehilanganmu lagi. Dan kau hanya berbalik dan menyunggingkan sebuah senyum.

Kau pun kembali, agak lama, lebih lama dari biasanya. Kau membawa dua cangkir yang aku pun tahu isinya, kopi susu untukku dan teh tawar hangat untukmu. Aku tak pernah bisa memahami orang yang minum teh hangat tanpa rasa.

“Maaf ya.” Katamu memecah keheningan

“Untuk apa?” kataku, berpura-pura tidak tahu meskipun aku memang tidak terlalu yakin apa yang akan keluar dari mulutmu. “Pinjam iPodmu dong, rumah sebesar ini terlalu sepi untuk hanya diisi pembicaraan kita.” Kataku, berusaha mengalihkan topik. Akupun mengambil iPodmu sambil menekan tombol play dan membiarkan produk keluaran Apple itu menshuffle sesuka hatinya.

“Maaf ya, untuk semuanya, untuk kamu yang selalu menunggu dan memaafkan.” Katamu.
Suara khas Michael Buble keluar dari alat kecilmu itu, “I’ve been keeping all the letters, that I wrote to you.”Home, sebuah lagu yang menggambarkan kerinduan dan sebuah kata bernama pulang. “Kenapa lagu itu? Aku bisa menjadi sentimentil seketika jika mendengar lagu itu, kamu tahu berapa lama aku tidak bisa kembali ke sini.” Tanyamu. Iya aku tahu, aku rasa aku lebih tahu dari kamu perkara ini. Tentang bagaimana kita dilahap perlahan oleh sesuatu bernama waktu dan jarak, ketika aku belajar banyak arti dari kata bersamak, dan waktu yang melambat dengan segala ketergesaannya.

“Tak tahu, jangan salahkan aku, tanya sendiri tuh sama alatmu. Oh iya, kamu tadi tanya apa?” tanyaku, meskipun aku mendengar dengan sangat jelas pertanyaanmu. Aku hanya ingin melihat kamu cemberut, aku tahu apa yang tidak kamu suka lebih dari dirimu sendiri, dan entah kenapa aku selalu suka wajah manyunnya.

“Kamu, tentang itu..” Aku memotong ucapannya sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, “Oh, Tak apam mungkin memang kita harus menyerah pada jarak, waktu, dan perpisahan.” Kataku mencoba menjawab pertanyaannya, meskipun aku mencoba untuk tidak menjadi sentimentil, aku sedang tidak ingin menjadi sentimentil senja itu.

“Gak berubah, masih sok mencoba jadi puitis.” Balasmu, yang membuatku terdiam seraya menikmati petikan gitar dan suara Adhitya Sofyan, layaknya vokalis band shoegaze yang mumpuni dia berbicara tentang ruang kosong serta harapan, “I’m waiting for thing to unfreeze, till you release me from the ice block. Still everyday I think about you, I know for a fact it’s not your problem.” Potongan kata puitis dan liris yang terus menghunjam di tengah kesunyian kita.

“Ya mau gimana, kita tidak bisa memilih kepada siapa kita jatuh cinta.”

“Ah, kopi buatanmu sekarang jauh lebih enak dari yang dulu.” Kataku mencoba mengalihkan pembicaraan, entah mengapa aku tidak mau menjadi sentimentil sore ini. Dan entah kenapa sore ini menjadi sangat lama, seharusnya sudah maghrib saat ini.

“Malam jadi saksinya, kita berdua di antara kita. Yang tak terucap, berharap waktu membawa keberanian, untuk datang membawa jawaban.” Suara dari Is dan Payung Teduh seakan terus menghujam lubang yang telah dibuat Adhitya Sofyan. “Selera musikmu masih tetap sama, bagus.” Kataku, kalau aku disuruh mencari alasan yang paling dasar mengapa aku bisa tertarik padamu adalah selera musikmu, dan saat konser bagaimana kita menghabiskan waktu.

“Seperti dulu, tak banyak yang berubah. Kenapa kamu tidak duduk di sebelahku, seperti dulu?”

“Tidak mau, Di sini saja, aku takut kalau terlalu dekat aku malah jatuh cinta.” Balasku

“Gombal, seperti biasanya.”

“Lah, apa kamu mau Always be My Baby nya David Cook atau Free Fall nya John Mayer, gombal yang sempurna itu.”

"I wanna glide down over mulholland, I wanna write her name in the sky, Gonna free fall out into nothin', Gonna leave this world for a while," Aku beranjak dari kursiku dan membisikkan kata itu di telingamu, seraya memelukmu. Dan kau hanya diam, mungkin kau hanya ingin merasakan kehangatan, tapi kau sadar tidak ada yang abadi, tidak juga sebuah kehangatan.

“Tolong jangan dilepas, aku ingin dipeluk sebentar saja.” Ucapmu dengan nada yang bergetar, aku tahu sebentar lagi kamu akan menangis. Tanganmu menggenggam erat tanganku. Aku tahu, aku tahu itu lebih dari dirimu. Kamu mudah menyerah pada rintik hujan, embun, debu, deru kendaraan, subuh,  kabut, atau pun senja. Kamu bisa menemukan sesuatu yang kudus dari matamu yang bisa membuat yang biasa menjadi tidak biasa. Kamu mudah jatuh cinta semudah kamu terluka.

Aku akhiri pelukan itu, aku sadar itu tidak sehat. Lalu aku mematikan pemutar musik bikinan Steve Jobs itu. “Karena aku tidak bisa menyanyi mungkin Hati-hati dengan kesehatan telingamu” Kamu hanya diam tersenyum, rambut yang masih basah, lesung pipit dan senyum simpul, serta semua lekuk tubuhmu.

“Sweet disposition, never too soon” lagu dari Temper Trap yang aku nyanyikan dengan suara seadanya dan kamu hanya bisa tertawa “Oh reckless abandon, like no one watching you.” Kamu ikut bernyanyi.

“a moment a love, a dream a laugh. A kiss a cry, our rights, our wrongs.”

Iya, terima kasih untuk semua momen, semua pelukan, dan semua sunyi yang menyenangkan. Dan ketika kita tersadar malam sudah datang.

Tuesday, August 20, 2013

Kesunyian dan Fragmen Bernama Kematian

Stasiun Tugu, ramai seperti biasanya sore itu. Ada yang pernah bilang bahwa di tengah-tengah keramaian, sebagian orang bisa menemukan kesunyian paling sunyi di dalam dirinya, ya dan aku sadari mungkin aku sebagian di antaranya. Jadi di sinilah aku, duduk di salah satu bangku stasiun yang legendaris ini. Kadang kala ada saat-saat di mana pikiran kita berkelana, ketika hawa dan suasana membawa pikiran kita terbang entah ke mana, di antara hujan di pinggir danau Toba, atau alunan lullaby di sebuah desa di sudut pulau Jawa. Di antara radio swaragama dan lagu-lagu sendu dari Kla. Atau membawa kita ke bau koleksi buku penuh debu, dan setumpuk perkataan ibu. Tapi sore itu aku hanya merasakan kesunyian.

Mungkin hal ini juga yang dia rasakan, Amir Syarifuddin, mantan perdana menteri itu menghabiskan waktu-waktu terakhir hidupnya di sini, iya di bangku stasiun ini sebelum dia dibawa ke depan salakan senapan di Ngaliyan. Amir duduk di bangku stasiun ini, di stasiun yang telah dikosongkan di depan ratusan rakyat Yogyakarta yang ingin melihat perdana menteri pengganti Syahrir itu untuk terakhir kalinya. Ia membaca sebuah buku yang dipinjamnya dari seorang letnan yang mengawalnya saat itu, Romeo Juliet. Aku tak tahu mengapa menghadapi kematian bisa setenang itu. Akhirnya 19 Desember 1948, Amir bertemu kekasihnya yang meski selama ini selalu dekat dengannya namun hari itu mereka baru dipertemukan, kematian.

Soekarno-Hatta yang saat itu mendengar tentang eksekusi Amir, sangat kaget, dan langsung memanggil Gatot Soebroto yang menjadi panglima wilayah Solo. Tragis karena mereka pernah menyelamatkan Amir dari eksekusi Jepang, dan ironis karena eksekusi Amir justru terjadi pada pemerintahan mereka.

Atau cerita lain tentang dr. Wiroreno, salah satu orang yang terlibat juga dalam PKI 1948. Seperti yang dituliskan oleh Soe Hok Gie, ia menghadapi eksekusi di alun-alun Pati. dr. Wiroreno saat itu dengan khidmat menghadapi algojo yang akan segera mengakhiri hidupnya, malah algojonya yang gentar hingga harus bersimpuh dan memohon maaf kepada dokter yang hendak dijagalnya itu karena dokter yang terkenal baik itu pernah menyelamatkan nyawa kerabatnya. Kenapa menghadapi kematian bisa setegar itu.

Lalu ada cerita tentang eksekusi pemuda-pemuda yang juga tersangkut kasus Madiun affair 1948. Berdasar kesaksian Roeslan Abdoelgani, sesaat sebelum peluru mengakhiri waktu mereka, mereka minta waktu sejenak, untuk bernyanyi. Mereka menyanyikan lagu "Indonesia Raya" dengan khidmat, lalu dilanjutkan dengan menyanyikan "Internationale". Dan sesaat sebelum pelatuk ditarik, mereka meneriakkan satu kata kepada eksekutornya, "Pengkhianat!" 

Soe Hok Gie, dalam skripsinya (yang kemudian menjadi Orang-Orang Kiri di Persimpangan Jalan" mengatakan bahwa kematian petinggi PKI dan korban-korban Madiun Affair adalah  “akibat dari perlombaan mobil menuju puncak gunung. karena jalan makin sempit, pastilah roda-roda yg berlomba menuju puncak itu akhirnya saling bersenggolan, bergesekan dan memercikkan api.”

Jenderal TB Simatoepang dalam "Laporan dari Banaran" karyanya menuliskan, “Saya yakin bahwa do’a yang terakhir dari anak-anak itu  semua adalah untuk kebahagian dan kebesaran tanah air yang satu juga.” 

Setelah itu, yang ada hanya kematian.

Monday, August 12, 2013

Life Will Go On, But It's Okay to Look Back Sometimes Isn't it? (Part I)

Just like the title, today I want to look back to the date of 4-6 July 2013. What's on that date? Well forget about how I cancel my trip to Bandung to attend Seminar Nasional Nuklir which be held in Unpad, I forgot the exact date but I think it's on the 4th of July. Why I have to cancel my trip? Because on that day also I'm asked to help the organization of International Seminar and Workshop on Sustainable Cities 2013 (ISWSC '13) along with the ProSPER.Net 6th Annual Board Meeting which organized by LPPM UGM. ProSPER.Net is an alliance of leading universities in the Asia-Pacific region that are committed to integrating sustainable development into postgraduate courses and curricula. So, I can easily say that it's the meeting of the professor or doctor from the member universities of ProSPER.Net across the Asia Pacific Region which concern in the sustainable development issues especially in the higher education.
The X-banner

In the pre-preparation of the first event, the seminar on sustainable cities which be held in the Bulaksumur Hall, University Club Hotel. It tooks until almost midnight to get everything set and done. We (Me and some of the Gama Cendekia Member) help in the technical area of this event. It was exhausting.

So, the day after the conference was held. It was a nice conference, yeah because I'm also interested in the main theme of the seminar, Sustainable Development. It was fun, and I gained a lot of knowledge and experience on that day.

But the story haven't begin yet, there's more interesting second and third day :)